Pada
April 1970 satu majalah di lingkungan NU terhenti, yaitu majalah Dunia
Pendidikan. Majalah tersebut berhenti karena lembaga yang mengeluarkannya pun
kian melempem pada waktu itu, yaitu Persatuan Guru Nahdlatul Ulama. Bahkan
induk organisasinya, yaitu Nahdlatul Ulama, sedang mengalami tekanan yang luar
biasa. Majalah Dunia Pendidikan edisi perdana mulai 17 April 1969.
Penerbitan majalah ini dianggap sebagai momentum “kedewasaan” Pergunu memasuki
usia 17 tahun (berdiri Mei 1952). Memang singkat majalah itu. Namun sedikit banyak,
majalah itu mengandung torehan sejarah masa kejayaan partai NU.
Sebagai
“badan otonom”, Pergunu telah mampu meneruskan kiprah NU dalam dunia media
cetak. NU sendiri, hingga tahun 1972, punya organ resmi Harian Duta Masyarakat
yang memiliki peran fenomenal selama tahun 1960-1965. Untuk menyalurkan
aspirasi pendidik dan pendidikan secara khusus, PBNU merestui penerbitan Dunia
Pendidikan oleh Pergunu. Sasaran pembacanya, adalah guru-guru madrasah atau
sekolah umum yang menjadi aktivis NU.
Pada
nomor-nomor awal, disebutkan Dunia Pendidikan dicetak 10.000 eksemplar. Mulai
nomor 7 meningkat menjadi 15.000 eksemplar. Suatu hal yang wajar, mengingat
jumlah anggota Pergunu puluhan ribu orang. Sejarah Pergunu Menurut
Ensiklopedia NU, Pergunu adalah badan otonom NU yang menghimpun dan menaungi
para guru, dosen, don ustadz. Secara organisasi, Pergunu dibentuk dari hasil
Konferensi Lembaga Pendidikan Ma’arif NU pada tahun 1952. Konferensi
merekomendasikan untuk membentuk organisasi guru NU. Selanjutnya, Ma’arif NU Surabaya
yang diberi mandat untuk membentuknya berhasil mendirikan PC Pergunu Surabaya
pada 1 Mei 1958.
Setelah
melalui proses yang cukup panjang, Pimpinan Pusat Persatuan Guru NU berhasil
dibentuk pada 14 Februari 1959 dengan Ketua Umum Bashori Alwi. Kongres
pertamanya diadakan pada 17-20 Oktober 1959 yang diikuti 27 cabang dan Bashori
Alwi kembali terpilih sebagai ketua umum. Kongres kedua diselenggarakan pada
1966 dengan memilih Mardji’in Syam sebagai ketua umum, sekaligus terjadi
perpindahan kantor pusat dari Surabaya ke Jakarta. Pada 1968, Pergunu di
Jawa Timur berhasil memperjuangkan 20.000 anggotanya menjadi guru negeri di
Departemen Agama. Namun, organisasi ini surut setelah Pemerintah Orde Baru
menyatukan berbagai organisasi profesi guru menjadi Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI).
Pada
era reformasi, Pergunu diaktifkan kembali. Sebuah diskusi kecil yang dimotori
H. Abdul Latif Mansyur di Jombang menggagas ide tersebut. Sambutan luas pun
bergulir dan berproses sampai akhirnya pada 30-31 Maret 2002 terselenggara
Musyawarah Guru Pergunu di Pesantren Amanatul Ummah, Surabaya. Pertemuan ini
menghasilkan kepengurusan Pergunu Wilayah Jawa Timur dan penetapan AD/ART,
rekomendasi kepada PBNU, serta pembentukan tim formatur untuk membentuk
Pengurus Pusat Pergunu. Setelah melakukan pembentukan cabang-cabang,
terutama di Jawa Timur, pada 15 Juli 2003 diselenggarakan pertemuan pembentukan
PP Pergunu yang menghasilkan tiga orang pengurus inti harian Pergunu Pusat,
yaitu: Drs. K.H. Asep Saifuddin Chalim (Ketua Umum), H Kusnan A. (Sekretaris
Jenderal), dan Drs. H. Choiruddin Ch. (Bendahara Umum). Mereka ditugasi
menyempurnakan susunan PP Pergunu.
Dalam
Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donohudan, Solo (2004), PP Pergunu berjuang
menjadikan Pergunu sebagai salah satu Badan Otonom NU. Tetapi, upaya ini belum
berhasil. Baru pada Muktamar Makassar (2010), Pergunu ditetapkan menjadi salah
satu Badan Otonom NU.
Pada
awal berdirinya Pergunu merupakan alat Partai NU. Kini Pergunu mengusung
paradigma baru, yaitu profesionalitas dan independensi, tidak berafiliasi
dengan partai politik apa pun, dan sejalan dengan Khittah 1926 yang
mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Pergunu kini ikut
membangun generasi muda NU melalui jalur pendidikan.
Artikel
ini telah tayang di https://pergunu.or.id/sejarah-pergunu/